Oleh : Ummi Rissa
______________________________________
Membaca Foto Puisi karya bunda Sulis Bambang mengingatkan saya pada sebuah film yang berjudul Finding Vivian Maier. Film yang pernah memperoleh penghargaan Oskar pada tahun 2015 ini berkisah tentang seorang Nanny atau baby sister yang mempunyai hobby memotret. Tidak ada satu orangpun tahu ternyata koleksi fotonya terkumpul dalam ratusan rol film sampai satu peti penuh.
Vinding Vivian Maier adalah film dokumenter yang berusaha merekonstruksi kehidupan Vivian Maier, seorang fotografer perempuan yang tidak dikenal sampai karyanya ditemukan oleh John Maloof yang membeli satu peti berisi film negatif dari sebuah balai lelang. Dan foto-foto karya Vivian ternyata sangat fenomenal.
Vivian Maier adalah sosok fenomenal sekaligus mempunyai kisah bagaimana apresiasi seni seringkali datang terlambat. Seorang fotografer amatiran yang sehari-harinya bekerja sebagai nanny alias baby sitter. Vivian menghabiskan waktu luangnya dengan memotret di jalanan di kota New York dan Chicago antara tahun 1950 sampai 1970-an dengan hasil yang fantastis. Namun entah kenapa foto-foto tersebut hanya menjadi koleksi pribadi yang tersimpan di peti bahkan mayoritas filmnya belum diproses.
Film ini mendokumentasikan kisah nanny misterius yang diam-diam menghasilkan 100.000 foto, tersimpan dalam sebuah kotak dan baru ditemukan satu dekade kemudian oleh seorang fotografer hebat, John Maloof. John dan Charlie Siskel ingin mengangkat sisi kehidupan Vivian yang cukup unik sekaligus menarik, melalui foto-foto yang belum pernah diperlihatkan sebelumnya.
Karya-karya menakjubkan Vivian pertama kali ditemukan pada 2007 oleh John Maloof dalam acara lelang di Chicago's Northwest Side. Dari sanalah karya-karya Vivian berhasil mengubah hidup John dan ia berniat mempertontonkannya ke masyarakat. Kini, karya-karya fotografi Vivian telah diarsipkan olehnya agar publik dan generasi selanjutnya dapat ikut menikmati.
Bunda Sulis Bambang adalah sosok nenek dari lima cucu yang sedang menunggu kelahiran cucu ke 6. Hidup di tengah-tengah orang-orang yang sangat mencintainya. Seperti halnya Vivian, hobbynya adalah fotographi. Namun bunda Sulis lebih beruntung karena bisa mengakurasikan hasil jepretannya di atas kertas sebagai wujud dan hasil bidikannya.
Ketajaman perasaannya membaca bidang dan objek foto patut kita hargai. Hasil hasil bidikannya sangat keren sekali. Apalagi foto foto yang tersaji selalu disandingkan dengan gelaran puisi puisi pendek yang membuat saya menahan nafas sejenak. Bukan karena apa apa tapi karena kontempelasi antara foto dan puisi sangat pas dan diksi yang dipilih sungguh sangat berjodoh sekali.
Dari hasil bidikannya bunda Sulis berhasil mendokumentasikan dalam sebuah judul buku "Hanya Untukmu". Dalam bukunya ini, bunda berusaha mengawinkan hasil bidikannya yang berupa foto dengan larik-larik puisi pendek. Pertama kali saya membuka buku tersebut, saya mendapati sebuah prolog yang manis, sesekali saya tersenyum membaca kelakar dalam prolog tersebut. Sehingga menggundang rasa penasaran saya makin dalam untuk terus membaca lembar-lembar selanjutnya.
Dalam louncing perdananya di PDS H.B. Jassin, bunda Sulis mengatakan,"Buku hanya untukmu lahir sebagai wujud kecintaan saya pada fotographi dan puisi". Lebih dari itu, beliau juga tidak berminat untuk mengklaim jenis Foto Puisi seperti ini adalah hasil dari ide idenya. "Saya suka menulis puisi, saya juga kebetulan suka memotret, tiba-tiba saja muncul ide untuk mengawinkannya, walau saya tahu antara foto dan puisi adalah hal yang bertolak belakang, tapi inilah jadinya, saya tidak pernah menyesali telah melahirkan karya seperti ini. Bahkan saya bahagia karena usaha ini bisa selesai bertepatan dengan kembalinya si bungsu saya dari studinya di Australia ke tanah air tercinta. Kembali ke pelukan saya", ujarnya.
Yang unik dari foto puisi ini adalah seluruh foto dan puisinya tidak bernama alias tidak berjudul. Ketika dikonfirmasi kepada bunda Sulis, beliau hanya menjawab sederhana, "Ya itulah yang bisa saya persembahkan kepada pembaca dan penikmat sastra, saya sengaja tidak meberinya judul". Entah apa maksud dari semua, kalau boleh saya menafsirkan mungkin beliau ingin menciptakan identitas pada semua gambar dan puisinya sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Seluruh puisinya tidak berjudul dan cenderung pendek. Seolah di sana berbicara, gambar adalah judulnya sedang puisi adalah isinya. Ini adalah akulturasi foto dan puisi yang tercipta sangat apik. Terlebih dalam buku tersebut menghadirkan seorang editor yang bernama "Eko Tunas". Justru di tangan seorang editor yang handal Foto Puisi ini menjadi lebih hidup, berwajah dan bernyawa. Karena foto puisi adalah hal yang belum populer di Indonesia, perlu tangan terampil seorang editorial untuk merekatkan antara foto dan puisi agar lahir alamiah tanpa operasi sesar.
Seperti halnya dalam kisah Vivian Maier. John adalah nyawa dari proyek rekonstruksi kekaryaan Vivian. Selain membuat film dokumenter yang berisi foto, film, dan beberapa interview dengan orang-orang yang mengenal Vivian, ia juga membuat buku berjudul VIVIAN MAIER: STREET PHOTOGRAPHY. Karya-karya Vivian memang menandai bangkitnya Street Photography.
Film dokumenter Finding Vivian Maier berhasil masuk dalam nominasi Oscars 2015 dalam kategori Best Documentary Features, bersaing dengan LAST DAYS IN VIETNAM, CITIZENFOUR, THE SALT OF THE EARTH, dan VIRUNGA. Sayangnya, film ini ditaklukkan CITIZENFOUR.
Namun sebelumnya, FINDING VIVIAN MAIER berhasil menyabet Best Documentary Feature di Portland International Film Festival dan Miami International Film Festival.
Lalu timbul sebuah pertanyaan, apakah untuk menjadi dikenal orang banyak seorang pekarya harus mati dulu seperti Vivian? Jawabannya tentu tidak. Terkadang di negeri tercinta ini apresiasi terhadap seni datang terlambat. Saya rasa langkah yang diambil bunda Sullis sudah tepat. Beliau mencoba mendokumentasikan semua kekaryaan semampunya.
Bila kurang sempurna saya rasa wajar saya, karena ada ungkapan yang mengatakan, "Tak ada gading yang tak retak, tidak ada manusia yang sempurna". Semua butuh proses pembelajaran untuk menyempurnakan karya sebelumnya. Oleh karenanya diharapkan akan lahir karya berikutnya yang lebih baik dan lebih sempurna. Mungkin suatu saat foto puisi bunda Sulis akan menjadi karya yang fenomenal seperti kisah Vivian. Seorang fotographer amatir ternyata mampu melahirkan hasil jepretan yang luar biasa.
Saya tidak sependapat jika ada yang mengatakan bahwa, "Buku foto puisi Hanya Untukmu, terkesan baru seperti eksperimen". Mana mungkin sebuah kelahiran kekaryaan sebuah eksperimen semata, berkarya kok coba-coba! Saya percaya, segala sesuatu yang lahir di dunia ini bukan sebuah kebetulan, begitu pula buku Hanya Untukmu, saya rasa bukan sesuatu yang kebetulan. Tentu penulisnya sudah merancang sedemikian rupa, memerlukan waktu yang sangat panjang untuk mengerami dan memutuskan musti begini dan begitu. Sehingga lahirlah sebuah karya.
Puisi ke 10 adalah penanda kelahiran dari foto puisi karya bunda Sulis. Puisi ke 10 bergambar bulan tertutup awan hitam sehingga hanya terlihat seolah seperti bulan sabit.
kau curi cinta
saat malam makin tua
rembulan tinggal seiris
untuk apa menangis
cinta tinggal kerangka
Penulis hendak mengatakan bahwa," kau curi cinta / saat bulan makin tua// cinta serupa cahaya, bila bulan bertambah usia maka purnama sedikit demi sedikit beringsut seolah dimakan oleh mega mega. Semua begitu saja terjadi, sudah menjadi general true, dan menjadi sunatullah, sehingga si aku mengungkapkan, "rembulan tinggal seiris / untuk apa menangis //
Inilah yang terjadi, sesuatu rutinitas yang selalu kita alami tak perlu diratapi walau kita harus kehilangan cahaya dan berganti dengan gulita.
/ cinta tinggal kerangka / di baris terakhir terkesan ada kepedihan dan terkesan pasrah pada takdir. Padahal di baris sebelumnya menunjukkan ketegaran / untuk apa menangis / gaya bahasa pertentangan dimainkan di sini.
Dalam puisi ke 10 juga tersirat makna besar yang hendak disampaikan penulis, "urip mung sak dermo mampir ngombe" hidup hanya seolah singgah untuk minum. Hanya mengikuti takdir dari yang Maha mengatur. Sebab semua telah ditentukan oleh garis yang Maha Kuasa. Sebesar apapun kita berusaha, jika sudah sampai waktunya maka takdirlah yang lebih berkuasa.
renta duniaku
senja terus berlalu
cerita mengharu biru
dekatku ketenanganku
hadirku miliku, semuanya bagi-mu
Lubang Buaya, 23.03.18
0 komentar:
Posting Komentar