Nyatanya DSJ sampai juga ke acara perhelatan UWRF di Bali, bahkan terhitung sukses ketika menggelar peluncuran buku Winter In Paris karya salah satu admin DSJ yaitu Penyair Riri Satria. Peluncuran Winter In Paris adalah satu agenda yang masuk dalam program UWRF, ini adalah kali pertama Dapur Sastra Jakarta mengadakan peluncuran di acara UWRF. Saya turut bangga karena bisa menghadiri acara dunia yang cukup bergengsi. Terlebih menghadiri peluncuruan buku sahabat saya penyair Riri Satria.
Lahirnya Winter In Paris dilatar belakangi karena penulisnya menempuh study di Paris, sehingga secara langsung maupun tidak, segala sesuatu yang berkaitan dengan Paris saling bersentuhan dan bergesekan pada setiap momen. Begitu sangat dalam kesan dan kenangan yang dapat diserap dalam ingatan penulisnya. Setiap kata yang lahir adalah luapan perasaan dan suara hatinya. Bahkan kesaksian teman dekat penulis yang tinggal di Paris mengatakan, “Riri sering tiba-tiba terdiam lama ketika duduk bersama saya, rupanya dalam diamnya Dia memilih sebuah diksi untuk ditulis menjadi sebuah puisi, dan setiap perjalanan baginya adalah sebuah perenungan”. Kalimat ini sebenarnya adalah sebuah penegasan bahwa memang penulis sangat serius dalam memilih diksi yang tertuang dalam buku Winter In Paris.
Salah satu catatan kecil saya ketika menghadiri peluncuran buku Winter In Paris ini adalah ketika pembicara Bapak Remmy novaris D.M. memberi sebuah endosmen, bahwa “diksi yang dipilih dalam buku Winter In Paris terlihat sangat matang dan utuh”. Saya secara pribadi sangat setuju dengan pernyataan tersebut, bahkan selain matang dan utuh, saya membaca diksi yang dipilihnya lebih kuat, berkarakter dan terasa berdaya magnet. Sehingga ketika kita membacanya aura diskripsi yang digambarkan di sana sangat kuat, sehingga seolah-olah kita masuk ke dalam puisi yang ada dalam buku tersebut. Ada ungkapan mengatakan,”puisi yang bagus dan hidup adalah puisi yang ketika dibaca ada perasaan bergetar dalam hati danmerasa merinding baik bagi pembaca maupun pendengarnya”. Memang tidak semua orang sependapat dengan ungkapan ini, tetapi saya secara pribadi mempercayainya, karena puisi sangat dekat dengan perasaan dan bathin penulisnya.
Kedekatan puisi dengan bathin dan perasaan penulisnya tentu akan terefleksi dalam pemilihan diksi, sehingga akan terjadi kontempelasi yang harmonis antara keduanya dan akan terciptalah sebuah karya puisi yang imajinatif realistis. Walau pun puisi bersifat imajinatif, penyair yang baik adalah penyair yang mampu meleburkan sesuatu yang riil menjadi naratif imajinatif. Sehingga akan ada sentuhan lebih dalam ketika Dia menggambarkan diksi dalam puisinya. Menurut hemat saya Riri Satria lebih pas dan cocok ketika menulis puisi dalam bahasa Inggris. Saya tidak mengatakan karya puisinya dalam bahasa Indonesia tidak cocok untuknya. Lagi-lagi seorang penyair tidak akan serta merta menemukan gender kepenulisannya seketika. Tentu butuh waktu bertahun-tahun untuk menemukan jati diri dan siapa dirinya dalam sebuah karya. Banyak penulis yang multi talen, akan tetapi Dia pasti punya kecenderungan yang sangat kuat terhadap salah satu jenis tulisannya, bahkan karakter, rasa nyaman dan kenikmatan ketia Dia menulis. Saya rasa penyair Riri Satria akan memahami dirinya sendiri, bagaimana Dia merasakan klimaks, puncak dan ejakulasi dalam jenis karyanya. Apakah Dia lebih enjoy dan mencapai klimaksnya ketika menuliskan puisi dalam bahasa Inggris ataukah dalam bahasa Indonesia, semua yang tahu akan hal ini hanyalah penulisnya, sebab saya belum pernah bertanya tentang hal ini baik secara langsung pribadi ataupun ketika dalam forum diskusi umum.
Satu kalimat yang bisa saya garis bawahi dari lahirnya buku Winter In Paris adalah,”Inilah yang pas!” maksudnya adalah Penyair Riri Satria lebih pas dan cocok menulis puisi berbahasa Inggris, sebab saya merasa dalam karyanya ada sebuah magnet yang menarik pembaca untuk masuk dan larut dalam diksinya. Saya berharap tahun depan akan lahir Winter yang lain dan juga akan diluncurkan pada acara UWRF 2018.
Pekanbaru, 10,11,17
SELESAI
0 komentar:
Posting Komentar