Bedug magrib terdengar dari kejauhan, adzan pun berkumandang, inilah wayah samar wulu, pintu yang mengganti wajah sore menjadi malam. Seorang pria muda mengendarai vespa, langit pekat, mendung menggantung, mungkin sebentar lagi hujan akan turun. Vespa biru itu terus melaju menyusuri pinggiran Jalan Brawijaya, menuju arah kali Lo. Angin mulai berdesir sedikit kencang, mendung berkumpul untuk berkencan, lirih gerimis turun terbawa angin, lembut menyentuh tanah, indah seperti diksi yang dirangkai menjadi puisi. Pria di vespa biru itu tidak berhenti seolah menikmati rintik hujan yang lembut membelai wajahnya. Tiba-tiba disebuah perempatan jalan, vespanya berhenti perlahan, entah apa yang terjatuh di aspal, Dia turun dan mengambilnya. Lalu seorang gadis menyapanya, “Hey mas, sendirian ya? Kenalkan aku Nuning, mas siapa?” perempuan itu menyodorkan tangan ke arah pria itu. Lelaki itu terperanggah dan sedikit gugup,”a...a... aku Alex”.”Tangan perempuan ini begitu halus dan dingin!” gumamnya.
Perkenalan yang tak disengaja dan sangat singkat itu membawa mereka kepada keakraban yang tak pernah disangka. Mereka berdua duduk di trotoar jalan sambil memesan beberapa tusuk sate yang ada di sana,“Bang, sate 30 tusuk”. “Nuning, sebenarnya kamu mau kemana? Kok bawa rantang segala?” “Oh iya, aku lupa, tadi ibu menyuruh aku untuk beli sop kambing sama beli sate”. “Ya sudah pesen aja sekalian, tenang aja nanti aku yang bayarin”. Nuning berdiri dan menarik tangan Alex,”Ayo kita lihat yang bakar sate”, “Ih ngapain sih, di sini aja”, “Ayooo....!” Nuning terus menarik tangan Alex, akhirnya Alex mengikuti Nuning. Mereka berdua berdiri tepat di depan pembakaran sate, Nuning mengambil beberapa tusuk sate yang baru dibakar itu,” Sssst...., jangan! Ini kan masih mentah Nun!” “Ah enak kok, rasanya manis lho, cobain deh”. Alex merasa aneh dengan tingkah Nuning itu, lebih aneh lagi, Nuning tidak hanya menghabiskan 1 atau 2 tusuk saja, tapi sampai 20 tusuk sate yang belum matang. Ada sedikit perasaan ngeres dalam benak Alex, tapi perasaan itu segera Ia tepis sehingga tidak menimbulkan pertanyaan yang berkepanjangan dalam dirinya sendiri.
Mereka sudah selesai makan, pesanan ibu Nuning juga sudah dapat, “Nuning, rumah kamu di mana? Ayo aku antar!”. Tanpa basa basi lagi, Nuning langsung ikut membonceng di belakang Alex. “Awas! Pegangan yang erat ya, nanti jatuh!” “Ia ... ia... aku pegangan di pinggang kamu boleh kan?” “Tentu saja boleh, dengan senang hati!” Vespa biru itu terus melaju, sepanjang jalan mereka bercerita dan tertawa-tawa, sesekali mereka cekikikan, entah apa yang mereka candakan. “Nuning, rumah kamu sebelah mana, di depan ada pertigaan, lurus atau belok?” “ belok kiri saja, ambil arah lewat jalan belakang rumah sakit”. Alex sedikit agak tertegun mendengar arah belakang rumah sakit. “Bukannya belakang rumah sakit kuburan ya?” dalam hatinya bertanya-tanya. Ketika itu Nuning langsung memberi penjelasan kepada Alex bahwa,”Rumahnya memang di dekat kuburan yang ada di sana”. Tak terasa mereka sudah sampai di rumah Nuning. “Yang mana rumahmu Nun...?” “Itu yang paling terang” tangan Nuning menunjuk rumah yang paling terang. “Vespa gak bisa masuk Lex, karena gangnya sangat sempit dan gelap”. “Ya sudah kita turun di sini saja, biar vespanya kita parkir di arah masuk gang, lampunya kita sorotkan ke arah jalan gang”. Gang menuju rumah Nuning benar-benar sempit dan gelap, sesekali Alex tersandung batu-batu yang ada di sana. “Di sini banyak sekali batu-batu ya Nun...” “Emang iya, sepanjang jalan ini emang banyak batu nisan Alex!” “batu nisan? Jangan bikin takut aku Nun...”.”Emang kenapa takut Lex? Orang di sini baik-baik semua kok”. Begitu sampai di tengah jalan, lampu vespa tiba-tiba mati, sepontan terdengar tertawa nyaring,” xixixixixi.... xixixixi.... xixixixi....”. Tanpa berpikir panjang Alex berlari tunggang langgang, jatuh bangun menabrak batu nisan pekuburan.
Selesai
Lubang Buaya, 2017
0 komentar:
Posting Komentar