Oleh : Rissa Churria, M.Pd.
Dunia perfilman menjadi heboh dengan kehadiran film Star Wards, dalam perjalanan perfilman, Star Ward menjadi film yang tetap dikenang sepanjang masa. Semua orang tentu kenal dengan film Star Wars atau setidaknya kita mengenal dan tahu judulnya yang menjadi identitas dan brand industri perfilman yang menumbuh kembangkan kelompok-kelompok, grup ataupun komunitas-komunitas pecinta film Star Wards. Dan yang seru lagi maskot, pin dan segala tetek bengek yang berhubungan dengan Star Wards merebak di mana-mana.
Yang membuat tercengang dan mengerutkan dahi lagi adalah Star Wards tidak lagi sekedar film biasa, tetapi seolah menjadi sebuah badan usaha yang tidak pernah ada surutnya. Bahkan menjadi brand besar industri perfilman. Dari episode awal hingga episode kedelapan yaitu The Last Jedi yang diputar pada tahun 2017 lalu, film ini selalu mendapatkan antusias penonton dan sangat ditunggu oleh para follower dan pecinta Star Wards. Lalu apakah Puisi Esai akan bisa sefenomenal Star Wards? Saya rasa bisa saja terjadi, karena saya tahu DJA adalah seorang yang gigih dan tidak mudah menyerah dalam keadaan apapun, bahkan walau dunia menghujat dan menudingnya dengan kalimat-kalimat miring. Justru menurut saya itu akan menjadi tambahan amunisi baginya untuk terus melanjutkan opsesi dan cita-citanya sehingga Puisi Esai akan menjadi besar dan makin berkibar di jagat sastra.
Jika kita kembali ke belakang, sejenak menengok sejarah awal pertumbuhan film Star Wards yang akhirnya digandrungi dan ditungu-tunggu oleh para penikmat film. Sebenarnya akan terbersit sebuah pertanyaan, mengapa Star Ward bisa sampai kepada episode kedelapan? Padahal awalnya film yang digarap apik oleh George Lucas (GL) ini sempat ditolak oleh Universal Lucas karena dianggap terlalu berlebihan dan terlalu berimajinatif yang tidak masuk akal. Lebih dari itu film ini keluar dari konteks gendre film yang sedang laku pada umumnya. Tetapi sungguh ajaib Star Wards mampu membuktikan sebagai film fenomenal yang selalu ditunggu-tunggu kehadirannya walaupun plot dalam film ini hanya dibolak balik, berputar dan di jungkir balikan saja.
Dari beberapa informasi yang pernah saya baca, penggagas film Star Wars, George Lucas, sudah sempat berpikir untuk membuat film perang bintang sejak maraknya film-film futuristik dan fiksi sains antariksa. Termasuk film Star Trek, sekitar tahun 1964 dan film
Space Odyssey tahun 1968 yang sangat fenomenal, garapan apik sutradara Stanley Kubrik. Namun idenya pernah ditolak juga oleh petinggi Holywood karena dianggap tidak sesuai dengan film-film yang laku pada zamannya. Tetap saja akhirnya film itu tampil di permukaan hingga berhasil menyedot animo penonton dan mendapat sambutan yang luar biasa.
Kini dunia sastra pun heboh dengan kehadiran Puisi Esai, sejak kehadiran buku Atas Nama Cinta dan buku 33 Tokoh Sastra paling Berpengaruh di Indonesia, dunia kesusastraan Indonesia seolah demam dan tak henti-henti membicarakan sepak terjang Denny Januar Ali (DJA) yang masuk dalam buku 33 Tokoh Sastra Berpengaruh di Indonesia. Mulai dari penulisan Puisi Esai yang diberi bayaran sampai kontroversi keberadaan Puisi Esai itu sendiri.
Sekilas sepak terjang DJA sebagai penggagas Puisi Esai hampir sama saja dengan GL. DJA mempunyai keyakinan yang kuat akan berkembangnya Puisi Esai di Indonesia bahkan mungkin dunia, terbukti akan lahir 34 seri buku Puisi Esai dari propinsi di Indonesia yang melibatkan 170 penulis se-Indonesia. Padahal semua itu terjadi di tengah hujatan-hujatan, tuduhan-tuduhan miring seputar Puisi Esai. Bahkan polemik dan kontroversi di tengah publik yang di tandai dengan penulisan berbagai macam pendapat tetang Puisi Esai dan bahkan diskusi-diskusi pro dan kontra yang sudah bergulir hingga tiga putaran, bertempat di Rumah Budaya Guntur 49, Jakarta. Saya dengar diskusi pro dan kontra ini akan berlangsung sampai 6 putaran. Tapi kenyataannya tidak menyurutkan semangat DJA untuk terus mengibarkan bendera Puisi Esai. Dia tetap maju bersama punggawa-punggawanya yang siap mengusung Puisi Esai.
Rame rame soal Puisi Esai yang sedang banyak dibicarakan oleh masyarakat sastra hingga soal petisi yang ditanda tangani oleh para penggiat sastra. Hal ini menjadi semakin menarik ketika digelarnya diskusi pihak pro dan kontra Puisi Esai dari putaran pertama yang dihadiri pembicara-pembicara dari pihak pro dan kontra hingga diskusi putaran kedua dan ketiga. Pembicara pihak pro sengaja disandingkan dengan pembicara pihak kontra. Walau pada diskusi putaran kedua dan ketiga pembicara dari pihak kontra tidak datang dan ikut duduk di panggung yang telah disediakan.
Kehadiran Puisi Esai dalam kancah panggung sastra Indonesia adalah bentuk manifestsi dan perkembangan kekaryaan dalam dunia sastra. Bagi saya ini adalam sumbangsih kekaryaan sebagai kekayaan budaya bangsa. Tidak dapat dipungkiri bahwa roda selalu berputar, waktu terus berjalan, zaman terus berubah dan berkembang. Sudah menjadi sunatullah bahwa kehidupan ini memang berkembang, apalagi segala sesuatu yang berhubungan dengan budaya, bahasa dan segala jenis kekaryaan termasuk dalam dunia sastra. Kita tidak bisa menghindari perkembangan dan lajunya kehidupan kesusastraan Indonesia, dan tidak bisa memaksa pelaku sastra untuk jumud pada jenis yang lahir di era sebelumnya. Kelahiran genre baru dalam dunia sastra suatu hal yang lumrah, sebut saja Puisi Esai yang sedang ramai dibicarakan masyarakat sastra, bahkan menimbulkan polemik dan perdebatan antar masyarakat sastra.
Ada hal yang menarik dalam Puisi Esai sehingga saya pun ikut terlibat dan menulis di dalamnya. Rasa penasaran yang menggelitik keingin tahuan sehingga saya tertantang untuk menulis. Serta merta saat itu saya geogling mencari tahu apa dan bagaimana Puisi Esai. Hal pertama yang menarik perhatian adalah catatan kaki dalam Puisi Esai. Baru kali pertama saya mendapati puisi yang memiliki catatan kaki begitu panjang, bahkan terkadang lebih panjang dari puisinya. Saya hanya berpikir, ini adalah bentuk puisi yang baru dan belum pernah saya dapati sebelumnya. Kalau ada orang bilang ini seperti Prosa Lirik, saya rasa tidak juga. Mirip dengan cerpen, ya mungkin karena di sana ada alur cerita, tokoh, latar dan lain-lain tapi lebih ini adalah puisi, diksi yang dipilih, irama, rima, pencitraan dan mengimajian lengkap layaknya puisi. Diam-diam saya bertanya pada diri saya sendiri, apakah ini puisi zaman now?
Antara Puisi dan Esai adalah esensi yang sangat berbeda, kalau boleh saya kutip beberapa pengertian Esai sebagai berikut : Menurut KBBI Esai adalah karya tulis atau karangan dalam bentuk prosa yang memaparkan tentang sesuatu masalah dari sudut pandang pribadi penulis secara lugas dan sepintas.Menurut Ensiklopedi Indonesia, Esai adalah jenis tulisan prosa yang menguraikan masalah dalam bidang kesusastraan,kesenian kebudayaan,ilmu pengetahuan dan filsafat. Berdasarkan pengamatan,pengupasan,penafsiran fakta yang nyata atau tanggapan yang berlaku dengan mengemukakan gagasan dan wawasan pengarangnya sendiri.
Sedangkan Puisi secara umum merupakan salah satu bentuk karya sastra yang mengungkapkan perasaan dan pikiran dari penyajinya imajinatif, tersusun, dan disusun dengan mengonsentrasikan suatu bahasa dengan suatu struktur fisik dan struktur batinnya. Oleh karenanya saya merasakan ada sesuatu yang baru di sini, antara puisi dan esai dikawinkan yang mana akan melahirkan gedre baru yaitu Puisi Esai. Ternyata menulis puisi Esai mengasikkan juga, selain kita membuka literatur untuk bahan penulisan, tentu semakin menarik ketika mendalami isu isu yang merebak di daerah tempat tinggal kita sendiri khususnya dan umumnya di tempat-tempat yang lain.
Sungguh luar biasa, saya tidak pernah menyangka ternyata antusias penulis Puisi Esai dari Aceh hingga Papua, bahkan melibatkan 170 penulis di seluruh Indonesia. Saya murni hanya ingin menulis dan mempunyai pengalaman menulis Puisi Esai, walaupun banyak yang nyiyir dengan apa yang saya lakukan, nyatanya saya tetap menulis. Saya hanya ingin menempatka diri saya di mana-mana, tidak fanatik terhadap satu jenis penulisan saja, saya tetap menghormati setiap gagasan dan genre sastra yang lahir di bumi nusantara. Apakah saya salah jika saya ikut menulis Puisi Esai? Adapun kemudian ternyata puisi saya dihargai dan kemudian diberikan imbalan finansial, saya rasa itu wajar saja. Kenapa wajar? Sebab menulis Puisi Esai tidak seperti menulis puisi lainnya, perlu research, perlu waktu yang sangat panjang, perlu referensi dan lain sebagainya.
Menulis Puisi Esai merupakan pengalaman baru buat saya, mungkin sebelumnya saya pernah menulis puisi dengan gaya naratif tetapi saya tidak menggunakan catatan kaki sebagai penanda peristiwa. Saya hanya menulis sesuai dengan apa yang saya lihat dan saya rasakan saat itu. Biasanya saya menulis puisi menghadirkan rasa terlebih dahulu baru kemudian logika dan data. Tetapi menulis Puisi Esai posisi terbalik, mengumpulkan data berdasarkan fakta baru menghadirkan kepekaan rasa. Jika sudah terbiasa saya rasa akan sama saja, menulis puisi dengan genre apapun tetap sama saja, tinggal bergantung pada selera dan kecenderungan masing-masing penulisnya.
Yang jelas saya tidak mau terjebak dan jumud pada satu gendre sastra, walau hanya satu Puisi Esai yang pernah saya tulis. Minimal saya sudah berkontribusi dalam sejarah sastra dan penulisan genre puisi zaman now yang sedang dibicarakan banyak kalangan sastra. Apakah saya akan ikut dihujat dan dilabeli tinta merah? Wallahu alam bishawab, niatnya hanya satu, menulis dengan niat karena Allah, tidak lebih!
Membaca Puisi Esai dari Aceh hingga Papua membuat aliran darah pada jantung saya tiba tiba menderas, dan sesekali melambat. Gaya penulisan puisi dengan menggunakan tokoh dan alur cerita serta catatan kaki yang menunjukkan kejadian sesungguhnya terjadi dalam Puisi Esai. Puisi Esai sangat panjang, dalam satu puisi bisa mencapai 3000 kata bahkan lebih di luar catatan kaki. Saya rasa Puisi Esai sangat mungkin untuk direkontrukasi menjadi berbagai macam bentuk sastra yang lain, diantaranya adalah dibuat sebuah skenario film dan kemudian difilmkan.
Mengapa saya mengulas sedikit sejarah film Star Wards di sini, menurut saya ada kesamaan kisah yang hendak dibangun antara kronologi beredarnya film Star Wards yang melegenda dengan Puisi Esai yang digagas oleh DJA. Seolah ada kontempelasi antara DJA dengan GL dalam penuangan ide-idenya, keduanya bergerak dalam seni namun dengan bidang yang berbeda. GL bergerak diperfilman dan DJA dibidang sastra puisi. Keduanya sama-sama kekeh dengan ide-ide yang menurut sebagian orang menjadi ide gila. GL ditolak oleh petinggi Holywood sedang DJA ditolak pula oleh sebagian petinggi sastra.
Pertanyaannya adalah apakah mungkin dan bisa Puisi Esai dijadikan sebuah skenario film dan difilmkan? Jawabannya tentu sangat memungkinkan dan bisa. Kenapa tidak, Puisi Esai adalah genre puisi yang mungkin sekali untuk diangkat menjadi film. Puisi Esai mengangkat kisah-kisah dan isue sosial yang merebak sepanjang daerah-daerah di Indonesia. Dalam penulisannyapun tergolong puisi naratif yang sangat panjang sehingga memungkinkan untuk merekontruksi menjadi sebuah film. Berdasarkan hasil pengamatan saya, ternyata DJA adalah seorang yang berselera dan mempunyai talenta yang lebih sehingga DJA juga mempunyai keinginan untuk membesarkan Puisi Esai lewat media yang berbeda yaitu teater, film dan lain-lain.
Jika kita mengikuti perjalanan Puisi Esai ternyata telah lahir lima film dari rahim Puisi Esai bertema anti diskriminasi hasil kolaborasi DJA dengan sutradara Ayat Ayat Cinta, Hanung Bramantyo. Film itu telah diputar dalam festival film bergengsi Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) VIII di Yogyakarta beberapa tahun lalu. Kelima film itu berjudul, Sapu Tangan Fang Yin, Cinta Terlarang Batman dan Robin, Bunga Kering Perpisahan, Romi dan Juli dari Cikeusik, dan Minah Tetap Dipancung yang telah diputar dalam sesi Spesial Program: Film for Social Movement di Teater Budaya Yogyakarta, Kamis (5/12/2013) pukul 15.00 sampai 18.00 WIB.
Saya mempunyai pandangan ke depan bahwa,” Antusias Puisi Zaman Now akan setara dengan antusias Star Wards kelak dikemudian hari”. Mari kita sama-sama tunggu dan buktikan! Mungkin hari ini masih banyak yang mencemooh, meremehkan bahkan nyinyir pada Puisi Esai. Waktu akan terus berjalan, roda selalu berputar, dan film yang diangkat dari Puisi Esai akan merebak mewarnai perfilman nusantara. Di tangan seorang penulis scenario dan seorang sutradara handal, film-film yang lahir dari rahim Puisi Esai akan menjadi film yang ditunggu oleh penonton, penggemar dan penikmat film. Serupaantusiasnya dengan film Star Wards yang selalu minati dan dinanti oleh para penggemarnya.
BIO DATA PENULIS
Rissa Churria, lahir di Banyuwangi, Tinggal dan menetap di Bekasi. Pendidikan terakhir adalah S2 Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Indraprasta Jakarta. Aktif mengajar sebagai guru honor di daerah pingiran Bekasi yaitu di daerah Lubang Buaya untuk pendidikan MTs. dan MA sejak tahun 1997. Mengajar untuk tingkat SMP IT dan MA di Cibinong sejak tahun 2015. Aktif sebagai penggiat sastra dalam Forum Sastra Bekasi, Anggota Dapur Sastra Jakarta, dan tergabung dalam Ziarah Karyawan Malaysia dan Nusantara.Mendirikan Rumah Baca Annajiyah di kediaman.
Email : churriarissa@gmail.com FB : Ummi Rissa, Phone : 081287812264. Blok yang bisa dikunjungi : sudutcahayapuisi.blogspot.co.id
Karya yang telah diterbitkan, antologi tunggal : Harum Haramain dan Sajak Perempuan Wetan. Antologi bersama :Senyum Lembah Ijen, Negeri Bahari – Negeri Poci, Ketika Kata Berlipat Makna, Bunga Bangsa, Ruang Tak Lagi Ruang, Kepak Sajak, Perempuan Dalam Puisi, PMK Menguak Skandal Korupsi Kepala Daerah, Solo Berpuisi, Mengungkap Jalan Rahasia, Indonesia dalam Titik 13, Menuju Jalan Cahaya, Ziarah Bathin, Wakil Rakyat, Kepada Bekasi, Sajak Puncak 1, Solo Dalam Puisi, Memandang Bekasi, Sajak Puncak-2, Ambarawa Seribu Wajah, Penyair Menolak Korupsi, dan lain lain, juga menulis di harian lokal Radar Bekasi dan Radar Banyuwangi.
0 komentar:
Posting Komentar