“Narasi Sepasang Kaos Kaki dan “Imaji Biru” adalah buku terbitan Teras Budaya dan penulisnya adalah anggota Dapur Sastra Jakarta (DSJ), teristimewa Awie adalah salah satu pemenang lomba esai yang diadakan oleh DSJ. Hadir sebagai pembicara adalah ibu Puji Retno Hadiningtyas, akrab dipanggil mbak Retno, seorang pakar Esais, Kritikus Sastra, Peneliti bidang Sastra dan Budaya serta bertugas di Lembaga Bahasa Bali. Perbincangan hangat malam itu memberi beberapa catatan kecil dalam ingatan saya. Ulasan kedua buku tersebut hampir sama saja, yaitu ;
1. Mau dibawa ke mana buku ini?
2. Menulis harus syarat dengan makna dan amanat
3. Walaupun puisi bersipat imajinatif tetapi menulis puisi harus sesuai dengan data dan fakta yang ada di lapangan
4. Kedua buku tidak ada ruhnya
5. Buku “Imaji Biru” dan “Narasi Sepasang Kaos Kaki” rata-rata masih seperti curhatan penulisnya.
Secara pribadi saya sangat tidak setuju dengan pernyataan tersebut, karena bagaimanapun juga puisi adalah karya sastra yang sangat dekat dengan penulisnya. Baik kedekatan perasaan, emosional bahkan jiwa penulisnya tertuang di sana. Bagaimana sebuah puisi dikatakan tidak punya ruh, tidak punya jiwa bahkan jauh dari amanat dan makna. Sedangkan seorang penyair tentu memilih diksi dengan penuh pertimbangan dan kehati-hatian. Memang diakui Awie adalah penulis pemula, tetapi Penyair winar termasuk seseorang yang sudah lama bergulat dengan dunia kepenulisan, baik puisi maupun cerpen. Bahkan karya-karyanya sering muncul dibeberapa media massa. Memang semua itu belum menjadi tolak ukur kesempurnaan sebuah karya, tetapi minimal beberapa media pun mengakui hasil karyanya.
Selintas saya sempat berpikir “pernyataan tersebut adalah pembunuhan karakter” why not? Bagaimana jika Penyair Awie dan Winar menjadi down? “ah tidak!” saya langsung menjauhkan pemikiran tersebut dari otak naif yang tiba-tiba melintas begitu saja. Dan saya yakin pernyataan-pernyataan di atas adalah sumbu yang bisa memicu serta mampu menumbuhkan greget dari dalam sehingga kedua penyair bisa berkarya lebih baik dan lebih bagus lagi. Dan bagi saya kalimat-kalimat tersebut adalah amunisi untuk kita terus menggali, belajar dan membaca, baik membaca literasi maupun kepekaan membaca situasi di sekeliling kita sendiri, baik secara sempit maupun luas.
Ternyata rumor dan desas desus yang merebak diantara penulis bahwa “jika berani louncing di Kampung Puisi Jatijagat harus mempunyai mental yang tangguh, sebab kita akan dicecar dengan pertanyaan-pertanyaan yang terkadang bisa menyudutkan bahkan membuat mental kita menjadi down”. Saya pikir ini baik sekali untuk penulis karena Dia akan tahu sampai di mana lefel karyanya, sebab seorang penulis pemula atau pun senior harus mampu mempertanggung jawabkan karyanya ketika karya itu dibedah di tengah-tengah publik dan dihadapan penulisnya. Walaupun ada ungkapan mengatakan,”ketika karya itu lahir, maka matilah penulisnya”. Ungkapan itu menurut hemat saya tidak sepenuhnya benar, karena jika penulisnya masih ada, maka kita bisa bertanya dan meminta penjelasan dan pertanggung jawaban terhadap tulisannya. Zaman sudah semakin maju, kita bisa berkomunikasi dengan seorang penulis lewat berbagai media, baik langsung maupun tak langsung.
Kalimat yang paling saya suka malam itu adalah ungkapan bapak Remmy Novaris yang mengatakan, “DSJ sengaja memberi peluang, dukungan dan mendidik penulis-penulis pemula untuk berani berkarya, berani menulis dan alhasil penerbitan buku adalah keberanian dan kepercayaan diri yang harus terus dipupuk. Ini adalah cara meregenerasi dan mempersiapkan penulis-penulis pemula untuk menjadi penulis yang handal di arena percaturan dunia kesusastraan Indonesia. Suatu hari nanti yang tua akan dikenang dan yang muda terus melanglang melanjutkan dan mengembangkan dunia kepenulisan agar dunia kepenulisan tidak vakum atau bahkan hilang karena minat menulis yang terkikis”.
Pekanbaru, 11.11.17
0 komentar:
Posting Komentar